Wednesday 9 November 2011

APALAH ARTI SEBUAH NAMA


CERPEN ini yang membawa saya menjadi pemenang lomba penulisan cerpen di UNPAD tahun 2011. selamat membaca. ^_^


            Adikku, masih duduk di TK. Aku tidak tahu terjadi apa di dalam sana yang membuat adikku berlari keluar dari kelas dengan menangis dan menghampiriku. Padahal belum genap sepuluh menit pun ia disana.
            “Kenapa?” aku bertanya kebingungan.
Ujang naik ke motor dan memelukku memberi isyarat “Mari kita pulang!”. Aku tidak begitu memperhatikannya setelah pertanyaanku tadi karena aku pikir tangis dan anak-anak adalah dunia yang tidak dapat dipisahkan.  Di sepanjang jalan ia diam seribu bahasa, tak mau bicara. Matanya bengkak dan basah. Aku tak berani bertanya lagi karena takut malah membuatnya semakin menangis. Toh nanti juga dia akan berhenti dan cerita sendiri.
Ketika sampai di rumah ia masih manyun dan tak mau bicara. Dengan keras aku membujuknya untuk bicara tapi Ujang malah menggeleng-gelengkan kepala dan menangis. Benarkan apa kataku jika aku pedulikan dia pasti menangis lagi.
“Ujang emam heula yuk!”[1] Ibu datang dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya lantas kaget mendapati Ujang sedang menangis.
Alim ah. Alim emam Ujang mah.“[2] ucap ujang sambil menangis.
Teteh, dikumahakeun si Ujang?”[3] tiba-tiba ibu bertanya cemas dengan nada menyalahkan karena Ujang mogok makan.
Duka atuh Ibu teu apal teteh oge!”[4] jawabku sedikit kesal. Bagaimana tidak, perihal perpindahan rumah sudah membuatku sedikit repot dan teramat pusing. Bayangkan saja benar-benar menyesakkan ketika aku harus meninggalkan program akselerasiku yang hanya tinggal setengah tahun lagi aku sudah berada di universitas. Ditambah aku harus mengurus kepindahanku dari sekolah lama tercinta ke sekolah baru yang entah akan membuatku nyaman atau tertekan. Sekarang malah seolah-olah aku yang salah Ujang menangis.
“Heh! Kunaon? Diseuseulan ibu guru?”[5] tanyaku dengan nada sedikit keras. Adikku masih teguh dengan gelengan kepalanya.
 “Tong kitu atuh teh narosna!”[6] ucap ibu padaku yang semakin membuatku geram. “Kenapa kamu menangis?” Ibu bertanya cemas namun Ujang masih tidak ingin menjawab.
“Makan dulu atuh ya?” pinta ibu.
“Aku tidak mau makan, Bu!” ucap Ujang dengan nada tinggi.
“Bicara yang sopan, Jang! Dia ibumu, ibu kandungmu!” aku marah melihat ibu kandungku disentak anaknya sendiri.
“Ibu kandung yang tidak sayang pada anaknya?” nada Ujang kembali meninggi.
“Jaga ucapanmu!” emosiku kian meninggi. Kukepalkan tangan ini kuat-kuat. Ingin sekali aku menonjok anak ingusan itu. Tapi disana ada ibu.
“Bapak dan Ibu jahat! Kalian Jahat! Kalian Jahat...“ Ujang menagis semakin keras.
“Maksudmu, Nak? Ibu sangat mencintaimu. Jika Ibu kurang perhatian padamu, maafkanlah. Kau tahu di rumah ini bukan hanya dirimu yang perlu aku perhatikan. Jika Ibu kurang memberimu uang jajan, maklumilah. Keluarga kita bukan keluarga yang banyak uang sayang. Jika masakan Ibu sudah tidak membuatmu berselera, pahamilah. Ibu semakin hari semakin tua sehingga kadang ibu lupa bumbu apa yang ibu masukan sendiri. Jika Ibu....” ucap Ibu dengan nada kian melemah.
Dengan keterbataan adikku tiba-tiba berbicara, “Aku malu! Aku diejek teman-temanku!”.
Aku tertawa sinis, marah. Ibuku membrengut, matanya mendelik tidak setuju dengan tertawaku.
“Ketika aku mulai masuk ke kelas teman-temanku menyambutku dengan baik. Tapi ketika aku memperkenalkan diri katanya namaku Ujang Dasep Ash-sholeh itu kampungan! Mereka bilang namaku ini ndeso dan katrok. Hatiku hancur bu! Aku malu! Mau ditaruh dimana mukaku ini?” adikku melanjutkan ceritanya dengan tersendak-sendak dan ia menangis semakin keras.
Kini aku menghentikan tertawaku. Aku tahu apa yang dia rasakan karena dulu aku pun pernah diejek seperti itu. Rasanya itu seperti jutaan jarum menusuk di jantung. Neng Elis Sholehah, nama ini memang kampungan tapi lebih sedikit manis dibandingkan nama adikku. Nampaknya persoalan nama ndeso itu menjadi sesuatu hal yang gawat bagi adikku. Persoalan ini bisa saja mengganggu sekolahnya. Mungkin nanti dia bukan hanya mogok makan tapi juga mogok sekolah karena malu.
“Ketahuilah Jang, namamu ini memiliki arti yang tidak jelek walaupun terdengar kampungan. Ujang itu memiliki makna anak laki-laki dan Dasep itu dari kata kasep, Ash-sholeh artinya sholeh. Jadi arti namamu itu seorang anak laki-laki yang tampan dan sholeh. Bagus sekali bukan?” Ibu menjelaskan dengan serius berharap anaknya sedikit tenang. Adikku menghapus sisa air mata di sudut-sudut matanya.
“Tapi nama itu tetap kampungan, Bu! Ndeso! Katrok! Aku ingin ganti nama! Pokoknya aku ingin ganti nama, titik!” ucap adikku keras kepala. Kini mata Ibu sedikit berkaca-kaca.
Aku masih terdiam. Ibuku terlihat mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh adikku. Pengaruh lingkungan ternyata sangat kuat sebagai penyebab perubahan dan pembentukan kejiwaan anak. Dulu ketika masih di Sumedang adikku tidak pernah merasa malu dengan namanya, hidupnya baik-baik saja dengan nama itu. Aku sebenarnya kurang setuju dengan keinginannya untuk mengganti nama yang lebih barat, modern, intelek dan mencirikan kultur kota atau apalah yang ada di pikiran anak kecil itu. Seharusnya dia bangga dengan namanya sendiri. Nama itu khas nama orang sunda. Ketika seseorang mendengar nama itu mereka pasti langsung tahu darimana orang itu berasal.  Tapi ah dia masih anak kecil dan pikirannya pun masih pikiran anak kecil.
“Aku tidak mau sekolah kalau namaku tidak diganti! Aku juga tidak mau bermain dengan anak-anak disini! Aku juga tidak mau makan dan minum!” ancam adikku. Mungkin bagi adikku arti sebuah nama itu tidak penting. Ia hanya melihat dari sisi keren atau tidaknya. Nama Ujang Dasep Ash-sholeh yang mengesankan kultur desa itu tetap ingin ia ganti. Ia tidak ingin lagi disebut namanya ketinggalan zaman oleh teman-teman sekelasnya.
“Iya, namamu akan diganti! Ibu akan bilang kepada Bapak untuk segera diproses.” ucap ibu sambil tersenyum. Tapi aku tahu dari raut mukanya tergurat kesedihan disana.
“Sekarang makan dulu ya!” Ibu mulai merayu adikku agar mau makan. Tergurat kekhawatiran di wajahnya. Syukurlah akhirnya Ujang mau mengisi perutnya.
Apa boleh buat, demi kedamaian hati anaknya apa pun ibu lakukan. Ia langsung menelpon bapak untuk mengurus akta kelahiran adikku. Yang aku takutkan semakin lama kami tinggal di Jakarta dan merasakan kerasnya hidup di ibu kota akan membuat budaya lokal kami lepas satu per satu.


[1] “Ujang makan dulu yuk!”
[2] “Tidak mau ah! Ujang tidak mau makan!”
[3] “Kakak, diabagaimanakan si Ujang?”
    Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan.
[4] “Tidak tahu Ibu tidak tahu kakak juga!”
[5] “Heh! Kenapa? Dimarahi ibu guru?”
[6] “Jangan begitulah Kak bertanyanya!”



Sumedang, 9 November 2011 
Hanifah Alshofa Nurul Aini 

2 comments:

  1. Sepertinya bisa lah, Hani nyumbang cerpen untuk majalah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah. Hehe. Masih perlu banyak perbaikan dan arahan, kak.
      Terimakasih telah berkunjung. :D

      Delete