Wednesday 6 February 2013

Taufik Ismail, Dokter Hewan yang Jadi Sastrawan



Taufiq Ismail, saya mulai mendengar nama beliau sering disebut-sebut oleh guru Bahasa Indonesia ketika saya duduk di bangku SMP. Masuk SMA, saya mulai tidak asing lagi dengan nama itu. Banyak karya puisinya yang sering saya temukan di beberapa buku milik perpustakaan. Membaca karyanya, itulah cara saya mengenal sastrawan karismatik ini. Sastrawan besar yang dimiliki negeri ini.  Namanya disejajarkan dengan sastrawan-sastrawan lainnya seperti Chairul Anwar, Abdoel Moeis, Asrul Sani, dan lainnya. Kenyataan beliau adalah seorang dokter hewan semakin menumbuhkan kekaguman saya kepadanya.

Penyair dan sastrawan Indonesia ini lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1953. Meski demikian, masa kecilnya banyak ia lalui di Pekalongan. Ia mulai bersekolah SD di sekolah rakyat di kota Solo. Kemudian ia berpindah ke Salatiga, Semarang. Akhirnya, ia menamatkan sekolah rakyatnya di Yogya. Setelah itu ia kembali ke kampung halamannya di Bukittinggi dan melanjutkan SMP disana, SMA di Bogor, dan kembali ke Pekalongan, tempat ia menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya. Pada tahun 1956-1957 ia memenangkan beasiswa Whitefish Bay High School di Milwaukee, Wisconsin, AS. Ia adalah angkatan pertama dari Indonesia.
            Ia  kemudian melanjutkan pendidikan tingginya di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia yang sekarang menjadi IPB. Ia tamat dengan gelar drh pada tahun1963. Kemudian pada tahun 1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Selain itu, ia juga belajar pada Faculty of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun 1993. Namun dikarenakan terjadi pecah Perang Teluk, ia pulang ke Indonesia. Padahal studi bahasanya belum ia tamatkan.
            Semasa kuliah, Taufiq Ismail terbilang mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan. Perlu diketahui, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961) dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ia juga pernah mengajar sebagai guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB (1961-1964). Dikarenakan ia menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke Universitas Kentucky dan Florida. Mirisnya ia kemudian dipecat sebagai pegawai negeri pada tahun 1964.
            Taufiq Ismail ini menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, ia bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai sekarang ini ia memimpin majalah itu.
            Pada tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di berbagai tempat tentunya, bukan hanya di dalam negeri, namun juga di luar negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto, peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali. Ia pernah mewakili Indonesia baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
            Kini Ia menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.

Denpasar, 30 Juli 2012 
Hanifah Alshofa Nurul Aini
 

No comments:

Post a Comment