Wednesday 28 December 2011

BINGKISAN SENJA



Allahuakbar . . . Allahuakbar . . .
Suara adzan yang baru saja aku dengar begitu menyentuh jiwaku. Aku beranjak dari kursi meja belajarku berniat untuk mengambil air wudhu. Setelah itu aku segera menunaikan kewajiban shalat lima waktuku.
Sore yang indah, berselimut langit yang menunjukkan warna kemerahan  semakin membuatku merasa takjub atas segala ciptaan-Nya. Atas semua yang telah Ia berikan kepada seluruh umat-Nya yang tentu saja selalu mengagungkan-Nya. Yang selalu bertasbih menyebut nama-Nya. Yang tak pernah lupa berlindung pada-Nya. Begitu juga yang aku rasakan saat itu. Betapa besar ciptaan-Nya yang tak dapat digambarkan dengan tinta emas sekalipun. Panorama sore hari yang tak ada satupun yang bisa melukiskannya secara sempurna, jika dibanding dengan apa yang telah Ia lukiskan sekarang.
Aku bersiap untuk membaca buku pelajaran yang sudah menantiku di atas meja. Besok ada ulangan matematika. Tak lupa aku ucapkan kata pertama yang tak akan aku lewatkan. “Bismillahirrahmanirrahim”. Hanya kata itu yang membuatku siap mengerjakan semua yang akan aku lakukan.
Kata demi kata yang kubaca hanya membuat mataku lelah dan mengantuk. Timbul rasa untuk tidur sejenak tapi ahh besok ulangan. Aku harus semangat menimba ilmu yang tidak pernah ada habisnya. Terlebih lagi kata orang tua dulu kalau tidur sore hari itu pamali. Namun, semakin aku semangat nyatanya semakin daya mataku melemah hingga hanya 5 watt saja. Tanpa sadar aku pun jatuh tertidur.
Udara yang sejuk, kicauan burung terdengar riang. Sinar ultraviolet menari-nari menembus kaca dan menjilati kulitku yang tertidur pulas. “Ghodzi!” sebuah suara lembut mengguncang telingaku.
“Ayo bangun! Sudah jam setengah tujuh pagi.” suara itu semakin dekat. Aku mulai membuka mata dan terkaget melihat pagi telah datang. Padahal rasanya baru saja tadi aku tak sengaja menutup mata. Aku berlari menuju kamar mandi dan bersiap pergi ke sekolah.
Aku sudah berusaha secepat mungkin menyiapkan segalanya bahkan aku melewatkan sholat shubuh. Tapi secepat apa pun aku melakukannya tetap saja aku kesiangan sampai di sekolah berlabel RSBI itu. Ku dapati pintu gerbang sekolah yang sudah ditutup. Aku harus memohon-mohon satpam untuk membukakan pintu gerbang hingga ku belikan ia sebungkus rokok baru dibukalah si pintu. Belum lagi aku harus menyelinap diam-diam di barisan upacara nanti. Apa lagi kesialan selanjutnya? Astaghfirullah… mengapa seperti ini?
Aku melangkah perlahan pasti tanpa suara berharap tak seorang guru pun melihatku kesiangan. Tapi sialnya aku. Di depan kelasku ada bapak wakil kepala sekolah yang berdiri melihat jalannya upacara. Kemudian dia memanggilku.
“Hey, boy! Come here!”
Yes, Sir!” dengan tertunduk aku menghampirinya.
            “You know what? You came late about 30 minutes.” Ujarnya sambil menunjukan jam tangan miliknya.
            “I’m very sorry, Sir.”
            “Where is your home?”
            “I live on jln. Kartini.”
“It’s not far. Stand in front of your friends! Now!” bentaknya tegas. Urat-urat di kepalanya mulai muncul dan matanya melotot seperti yang tidak betah di tempatnya.
Aku melangkah menuju lapangan upacara. Walaupun hati ini malu, tapi aku sadar ini semua memang kesalahanku. Aku percaya tiada yang sia-sia. Semua akan ada hikmahnya. Aku berjanji Ya Rabbi tidak akan jatuh pada lubang yang sama seperti seekor kerdil yang bodoh. Semua mata tertuju padaku. Semua mulut memperbincangkanku. Sungguh aku malu tapi apa daya aku tak mampu membela. Selama upacara berlangsung aku berdiri di depan sebelah Pembina upacara, bukan sebagai ajudan pancasila, bukan pula sebagai pengatur sound system, tapi untuk dipertontonkan dan ditertawakan banyak orang agar aku sadar kesalahanku.
            Upacara bendera yang menjadi kegiatan rutin sekolah favorit di Kabupaten Sumedang ini akhirnya selesai juga. Semua siswa berhamburan masuk kedalam kelas masing-masing dengan teratur. Betapa bangganya aku bisa masuk sekolah yang berstandar Internasional ini, karena tidak sembarang siswa bisa masuk sekolah ini. ”Hanya siswa yang berkualitaslah yang bisa masuk kesini” begitu yang disampaikan oleh salah satu guru dalam upacara minggu sebelumnya. Tapi apa yang aku lakukan hari ini adalah sangat memalukan. Sama sekali tidak mencerminkan siswa yang berkualitas.
Aku dan anak-anak yang lain duduk dikursi masing-masing. Pelajaran pertama saat itu adalah matematika, pelajaran yang selalu dianggap membuat pusing oleh siswanya terkecuali aku. Sementara yang lain membaca buku untuk ulangan hari ini, aku malah berleha-leha, tenang-tenang. Hingga guru matematika datang aku masih merasa tak gentar.
“Keluarkan kertas! Tidak ada buku apa pun di atas meja kecuali kertas dan alat tulis kalian!” ujar bapak yang menurut anak-anak super killer ini.
“Dilarang meminjam alat apa pun ke teman Anda. Semuanya bekerja masing-masing.” tegasnya lagi sambil membagikan lembar soal.
Aku tatap lembar soal itu dalam. Sudah ku coba kerjakan tapi mengapa terasa begitu sulit? Arrggghhh… aku lupa kemarin sore aku tertidur hingga tidak belajar. Aku gugup. Keringat bercucuran di kepalaku. Aku hanya bisa menjawab sebagian kecil soalnya saja. Sisanya? Entah aku harus berbuat apa. Oh mengapa aku begitu sombongnya Ya Rabb sehingga aku tidak mau sedikit pun membaca buku sebelum ulangan? Astaghfirullah.
“Jeng, Ajeng! Nomor 8.” bisikku pada Ajeng teman sebangkuku.
Tapi lagi-lagi aku sedang sial. Pak guru melihatku. Akhirnya aku tidak diperbolehkan mengikuti ulangan dan dikeluarkan dari kelas. Aku disuruh hormat di depan tiang bendera selama jam pelajaran matematika. Malu bukan main.
Sang raja siang membakar kulitku yang semakin gosong. Aku yang berkulit cokelat, semakin gelap saja jika dijemur seperti ini.  Kemejaku basah karena mandi keringat. Dan satu hal yang aku tak ingin tahu. Di belakangku pasti anak-anak mencibir semua yang telah terjadi. Ha? Mereka hanya bisa mengoreksi orang tanpa memikirkan dirinya sendiri. Ya Allah jangan biarkan kemarahan menjamur di dalam hatiku. Toh ini semua memang kesalahanku. Biarkanlah mereka tertawa semau mereka.
“Ghodzi, kamu dipanggil Pak Guru ke ruang guru.” sahut ajeng yang baru selesai ulangan.
 Dengan lunglai aku beranjak dari lapangan menuju ruang guru. Aku sangat lemas, lelah, letih, lesu. Aku butuh istirahat. Di ruang guru ternyata tak ku dapati si bapak yang anak-anak sebut killer itu. Sudahlah aku duduk di depan mejanya saja. Aku tahu dia pasti akan menghujaniku dengan kemarahannya dan nasehat-nasehatnya. Setelah itu? Aku yakin benar akan diberi amplop. Bukan amplop yang berisi pundi-pundi uang melainkan berisi soal ulangan yang jauh lebih susah dari ulangan tadi. Siap-siap saja aku habis dengan perkataannya. By the way, kesialan apa lagi yang akan mengahampiriku nanti, ha?
“Hoaaammm…” aku menguap. Saking capeknya berdiri selama 2 jam pelajaran matematika, aku pun tertidur di meja ruang guru itu.
Pukkk… Tiba-tiba sesuatu mengguncang kepalaku. Disusul dengan suara lembut yang menggetarkan telingaku “Godzi! Bangun! Ayo bangun! Muhammad Godzi Anshori!”.
“Iya maaf pak. Maaf saya tadi tertidur karena capek. Maaf sekali pak. Maaf!” dengan refleks aku meminta maaf kepada orang di depanku yang ternyata adalah “Ibu?? Mengapa ibu ada disini?”
“Ibu membangunkanmu, Nak. Ini sudah maghrib. Tadi kamu tertidur ya saat sedang belajar? Ya sudah ibu bangunkan. Ibu tahu kamu besok ulangan matematika bukan? Hayo cepat ambil wudhu lalu sholat dan belajar lagi.” ujar ibuku.
“Hehe… iya bu.” bukan karena gatal aku menggaruk-garuk kepalaku dengan malunya aku kepada ibu. Syukurlah itu tadi hanya sebuah mimpi. Untung hanya malu dengan ibu. Coba di mimpi tadi? Aku malu oleh semua warga SMA seantero sekolah. Hufftt…
Ngomong-ngomong, mengapa tadi kamu meminta maaf kepada ibu, Nak? Memanggil ibu dengan sebutan bapak pula.” tanya ibu penasaran.
“Tidak ada apa-apa bu. Hehe. Sudahlah tidak usah dibahas. Aku kan malu, bu.” jawabku lagi-lagi dengan menggaruk kepala.
“Kamu ini ada-ada saja. Sudah cepat sana ke kamar mandi!”
“Iya ibuku yang cantik.” aku mencium keningnya lalu beranjak dari kamarku.
“Dasar anak itu. Aneh-aneh saja tingkahnya.” gumam ibu.
Hidup ini memang indah. Banyak hal yang membuat kita tersenyum, terpingkal dan tertawa.Terlalu indah untuk disia-siakan begitu saja. Apalagi hanya untuk melakukan hal yang sama sekali tak ada gunanya. Aku merasa bahwa hidup ini adalah sebuah arena yang didalamnya terdapat berbagai macam tantangan. Mulai dari yang biasa sampai yang luar biasa. Dimana aku dituntut untuk memenangkan setiap tantangan itu dan meraih sebuah kemenangan yang hakiki. Kemenangan yang akan membawaku ke sebuah tempat yang mempunyai seribu macam keindahan yang sesungguhnya.
Hidup ini memang terkadang kita anggap menyusahkan, tapi justru didalam kesusahan itulah kita dituntut untuk meniadakan kesusahan dan meraih sebuah akhir dari segala kesusahan itu berupa balasan yang sangat luar biasa indahnya di dalam Firdaus sana. Surga Firdaus, jika dalam pikiran kita yang hanya seorang hamba adalah hotel berbintang lima dimana orang-orang tertentu sajalah yang bisa masuk kesana. Hanya orang yang punya semua kebaikan materi yang berlimpah yang tak akan pernah habis tujuh turunan. Atau ibarat sebuah apartemen berkelas yang di dalamnya semua fasilitas canggih sudah tersedia langsung siap pakai. Dan lagi-lagi, hanya orang yang bermateri lebih yang bisa menempati hunian itu. Tapi untuk masuk kedalamnya materi tidaklah terlalu penting, yang penting adalah iman, islam dan ihsan kita.
Bukankah orang sekarang hanya meninggikan rasa gengsi? Gengsi jika saudara atau sahabat mempunyai sesuatu yang kita tidak punya, dan kita berusaha mendapatkan hal yang lebih dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Itulah orang-orang yang tidak akan pernah mencium bahkan masuk kedalam surga terindah, kecuali mereka mau mengakui kesalahan yang selama ini mereka lakukan sebelum semuanya terlambat.
 Mimpi tidurku tadi sore benar-benar berarti. Haha. Walaupun aneh tapi seru juga. Sekarang aku semangat untuk belajar agar tidak seperti di mimpiku tadi. Dan 1 hal yang perlu di ingat. Jangan pernah meninggalkan sholat sesibuk apa pun diriku. Ohhh indahnya senja ini. Begitu banyak pundit-pundi hikmah. Akan ku jadikan mimpi itu bingkisan senja. Terimakasih, Ya Rabbi.

Sumedang, 28 Desember 2011
Hanifah Alshofa Nurul Aini

Sunday 20 November 2011

DAN KAU TAK PERNAH TAHU



Kesedihan  adalah cinta
Rasa sakit adalah Cinta
Benci pun juga cinta
Karena cinta kau bersedih
Karena cinta kau terluka
Karena cinta kau membenci
Dan aku hanya bisa mengagumimu
Mendambakan sebuah sapa
Mendambakan sebuah senyuman
Aku terlalu lemah untuk menelan kekecewaan
Dan mengagumimu bak bunga mawar
Semakin ku genggam semakin ku perih
Dan kau tak pernah tahu

Maaf aku menaruh minyak dalam air
Kapanlah mereka akan bersatu?
Hanya menjadi noda dalam sebuah kemurnian
Menggumpal dan terombang-ambing
Dan ketika semua telah usang dalam pandangan
Hadirlah walau hanya pada setitik kenangan
Dan kau temukan aku di luar kemarau
Kau tak tahu yang jatuh di danau itu
Air mataku atau rintik hujan
Atau kau temukan aku di luar hujan
Kau tak tahu di danau yang tenang itu
Titik air mataku atau riak kecil air
Dan kau tak pernah tahu

Jika aku harus berenang di danau itu, aku akan!
Karena berenang di hatimu adalah lebih sulit
Mereka bilang “Ikuti kata hatimu!”
Tapi ketika hatiku hancur menjadi kepingan
Bagian yang mana yang harus aku ikuti?
Dan aku masih disini dengan satu alasan bodoh
Yang aku sendiri tidak tahu apa
Sulit bergerak susah melangkah
Dipaku oleh sebuah penantian
Biarlah kurajut sepi ini
Di setiap keheningan sunyi menghampiriku
Kujadikan teman di kala senyap
Dan kau tak pernah tahu
Sumedang, 20 November 2011
Hanifah Alshofa Nurul Aini 

Wednesday 9 November 2011

APALAH ARTI SEBUAH NAMA


CERPEN ini yang membawa saya menjadi pemenang lomba penulisan cerpen di UNPAD tahun 2011. selamat membaca. ^_^


            Adikku, masih duduk di TK. Aku tidak tahu terjadi apa di dalam sana yang membuat adikku berlari keluar dari kelas dengan menangis dan menghampiriku. Padahal belum genap sepuluh menit pun ia disana.
            “Kenapa?” aku bertanya kebingungan.
Ujang naik ke motor dan memelukku memberi isyarat “Mari kita pulang!”. Aku tidak begitu memperhatikannya setelah pertanyaanku tadi karena aku pikir tangis dan anak-anak adalah dunia yang tidak dapat dipisahkan.  Di sepanjang jalan ia diam seribu bahasa, tak mau bicara. Matanya bengkak dan basah. Aku tak berani bertanya lagi karena takut malah membuatnya semakin menangis. Toh nanti juga dia akan berhenti dan cerita sendiri.
Ketika sampai di rumah ia masih manyun dan tak mau bicara. Dengan keras aku membujuknya untuk bicara tapi Ujang malah menggeleng-gelengkan kepala dan menangis. Benarkan apa kataku jika aku pedulikan dia pasti menangis lagi.
“Ujang emam heula yuk!”[1] Ibu datang dengan membawa sepiring nasi lengkap dengan lauk pauknya lantas kaget mendapati Ujang sedang menangis.
Alim ah. Alim emam Ujang mah.“[2] ucap ujang sambil menangis.
Teteh, dikumahakeun si Ujang?”[3] tiba-tiba ibu bertanya cemas dengan nada menyalahkan karena Ujang mogok makan.
Duka atuh Ibu teu apal teteh oge!”[4] jawabku sedikit kesal. Bagaimana tidak, perihal perpindahan rumah sudah membuatku sedikit repot dan teramat pusing. Bayangkan saja benar-benar menyesakkan ketika aku harus meninggalkan program akselerasiku yang hanya tinggal setengah tahun lagi aku sudah berada di universitas. Ditambah aku harus mengurus kepindahanku dari sekolah lama tercinta ke sekolah baru yang entah akan membuatku nyaman atau tertekan. Sekarang malah seolah-olah aku yang salah Ujang menangis.
“Heh! Kunaon? Diseuseulan ibu guru?”[5] tanyaku dengan nada sedikit keras. Adikku masih teguh dengan gelengan kepalanya.
 “Tong kitu atuh teh narosna!”[6] ucap ibu padaku yang semakin membuatku geram. “Kenapa kamu menangis?” Ibu bertanya cemas namun Ujang masih tidak ingin menjawab.
“Makan dulu atuh ya?” pinta ibu.
“Aku tidak mau makan, Bu!” ucap Ujang dengan nada tinggi.
“Bicara yang sopan, Jang! Dia ibumu, ibu kandungmu!” aku marah melihat ibu kandungku disentak anaknya sendiri.
“Ibu kandung yang tidak sayang pada anaknya?” nada Ujang kembali meninggi.
“Jaga ucapanmu!” emosiku kian meninggi. Kukepalkan tangan ini kuat-kuat. Ingin sekali aku menonjok anak ingusan itu. Tapi disana ada ibu.
“Bapak dan Ibu jahat! Kalian Jahat! Kalian Jahat...“ Ujang menagis semakin keras.
“Maksudmu, Nak? Ibu sangat mencintaimu. Jika Ibu kurang perhatian padamu, maafkanlah. Kau tahu di rumah ini bukan hanya dirimu yang perlu aku perhatikan. Jika Ibu kurang memberimu uang jajan, maklumilah. Keluarga kita bukan keluarga yang banyak uang sayang. Jika masakan Ibu sudah tidak membuatmu berselera, pahamilah. Ibu semakin hari semakin tua sehingga kadang ibu lupa bumbu apa yang ibu masukan sendiri. Jika Ibu....” ucap Ibu dengan nada kian melemah.
Dengan keterbataan adikku tiba-tiba berbicara, “Aku malu! Aku diejek teman-temanku!”.
Aku tertawa sinis, marah. Ibuku membrengut, matanya mendelik tidak setuju dengan tertawaku.
“Ketika aku mulai masuk ke kelas teman-temanku menyambutku dengan baik. Tapi ketika aku memperkenalkan diri katanya namaku Ujang Dasep Ash-sholeh itu kampungan! Mereka bilang namaku ini ndeso dan katrok. Hatiku hancur bu! Aku malu! Mau ditaruh dimana mukaku ini?” adikku melanjutkan ceritanya dengan tersendak-sendak dan ia menangis semakin keras.
Kini aku menghentikan tertawaku. Aku tahu apa yang dia rasakan karena dulu aku pun pernah diejek seperti itu. Rasanya itu seperti jutaan jarum menusuk di jantung. Neng Elis Sholehah, nama ini memang kampungan tapi lebih sedikit manis dibandingkan nama adikku. Nampaknya persoalan nama ndeso itu menjadi sesuatu hal yang gawat bagi adikku. Persoalan ini bisa saja mengganggu sekolahnya. Mungkin nanti dia bukan hanya mogok makan tapi juga mogok sekolah karena malu.
“Ketahuilah Jang, namamu ini memiliki arti yang tidak jelek walaupun terdengar kampungan. Ujang itu memiliki makna anak laki-laki dan Dasep itu dari kata kasep, Ash-sholeh artinya sholeh. Jadi arti namamu itu seorang anak laki-laki yang tampan dan sholeh. Bagus sekali bukan?” Ibu menjelaskan dengan serius berharap anaknya sedikit tenang. Adikku menghapus sisa air mata di sudut-sudut matanya.
“Tapi nama itu tetap kampungan, Bu! Ndeso! Katrok! Aku ingin ganti nama! Pokoknya aku ingin ganti nama, titik!” ucap adikku keras kepala. Kini mata Ibu sedikit berkaca-kaca.
Aku masih terdiam. Ibuku terlihat mencoba memahami apa yang sedang dialami oleh adikku. Pengaruh lingkungan ternyata sangat kuat sebagai penyebab perubahan dan pembentukan kejiwaan anak. Dulu ketika masih di Sumedang adikku tidak pernah merasa malu dengan namanya, hidupnya baik-baik saja dengan nama itu. Aku sebenarnya kurang setuju dengan keinginannya untuk mengganti nama yang lebih barat, modern, intelek dan mencirikan kultur kota atau apalah yang ada di pikiran anak kecil itu. Seharusnya dia bangga dengan namanya sendiri. Nama itu khas nama orang sunda. Ketika seseorang mendengar nama itu mereka pasti langsung tahu darimana orang itu berasal.  Tapi ah dia masih anak kecil dan pikirannya pun masih pikiran anak kecil.
“Aku tidak mau sekolah kalau namaku tidak diganti! Aku juga tidak mau bermain dengan anak-anak disini! Aku juga tidak mau makan dan minum!” ancam adikku. Mungkin bagi adikku arti sebuah nama itu tidak penting. Ia hanya melihat dari sisi keren atau tidaknya. Nama Ujang Dasep Ash-sholeh yang mengesankan kultur desa itu tetap ingin ia ganti. Ia tidak ingin lagi disebut namanya ketinggalan zaman oleh teman-teman sekelasnya.
“Iya, namamu akan diganti! Ibu akan bilang kepada Bapak untuk segera diproses.” ucap ibu sambil tersenyum. Tapi aku tahu dari raut mukanya tergurat kesedihan disana.
“Sekarang makan dulu ya!” Ibu mulai merayu adikku agar mau makan. Tergurat kekhawatiran di wajahnya. Syukurlah akhirnya Ujang mau mengisi perutnya.
Apa boleh buat, demi kedamaian hati anaknya apa pun ibu lakukan. Ia langsung menelpon bapak untuk mengurus akta kelahiran adikku. Yang aku takutkan semakin lama kami tinggal di Jakarta dan merasakan kerasnya hidup di ibu kota akan membuat budaya lokal kami lepas satu per satu.


[1] “Ujang makan dulu yuk!”
[2] “Tidak mau ah! Ujang tidak mau makan!”
[3] “Kakak, diabagaimanakan si Ujang?”
    Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan.
[4] “Tidak tahu Ibu tidak tahu kakak juga!”
[5] “Heh! Kenapa? Dimarahi ibu guru?”
[6] “Jangan begitulah Kak bertanyanya!”



Sumedang, 9 November 2011 
Hanifah Alshofa Nurul Aini 

Sunday 22 May 2011

Contoh MC Perpisahan dalam Bahasa Sunda


Panumbu catur/MC PATURAY TINEUNG KELAS XII SMAN 1 SUMEDANG
SMAN 1 Sumedang, Juni 2013

Assalamualaikum wr.wb
Sampurasun nu kasuhun ka pupuhu SMAN 1 Sumedang, pupuhu Dinas Pendidikan, komite sakola, guru-guru SMAN 1 Sumedang, bagea ka siswa-siswi SMAN 1 Sumedang, ibu miwah bapak, saderek sadayana, kum ka dulur-dulur nu pengkuh mitra baraya nu satia kana basa jeung budaya sunda.
Sateuacana sumangga urang sasarengan nyanggakeun puji sinareng sukur ka Gusti Nu Maha Agung anu parantos maparin kasehatan sareng kakiatan ka urang sadaya. Alhamdulillah ku jalaran nikmat ti manten-Na dina danget ieu urang tiasa kempel ngariung di ieu tempat dina raraga “Paturay Tineung Kelas XII SMAN 1 Sumedang”.
Sholawat sinareng salam, urang sanggakeun ka jungjunan alam Nabi Muhammad SAW. , ka para kulawargana, para sohabatna, kalih urang salaku umatna. Amin.
Langkung tipayun simkuring seja nyanggakeun pangwilujeng, rehna siswa-siswi kelas XII parantos lulus Ujian Nasional taun 2011.
Sateuacana, didieun aya sababaraha rupi acara. Simkuring bade medarkeun heula runtuyan acarana diantawisna:
1. Bubuka
2. Mapag Pupuhu
3. Aosan Ayat Suci Al-Quran
4. Pidangan lagu ti Paduan Suara SMAN 1 Sumedang
5. Laporan ti pupuhu panata calagara
6. Laporan ti pupuhu OSIS
7. Pidangan tarian (mangrupi tari merak ti wawakil siswi kelas XI SMAN 1 Sumedang
8. Kedal lisan ti wawakil kelas XII
9. Pidangan seni angklung ti Lingkung Seni Sunda SMAN 1 Sumedang
10. Kedal lisan ti pupuhu sakola
11. Pidangan lagu ti Paduan Suara SMAN 1 Sumedang
12. Kedal lisan ti komite sakola
13. Kedal lisan ti Dinas Pendidikan
14. Pidangan upacara adat prosesi paturay tineung kelas XII
15. Doa
16. Pidangan kasenian gondang
17. SMANSA Award
18. Bewara siswa/siswi berprestasi
19. Pembagian STTB
20. Panutup
Supados teu nyangkolong kana waktos, sumangga urang kawitan wae ieu acara ku aosan basmallah sasarengan. Bismillahirrahmanirrahim.