April. Namanya diambil dari bahasa Latin "aperire" yang berarti membuka. Kalau di Indonesia membuka semangat baru para wanita barangkali? Pasalnya bulan ke-4 dalam kalender Masehi ini identik dengan satu kata bernama emansipasi. Setiap 21 April selalu diperingati
sebagai Hari Kartini. Kartini dianggap sebagai pahlawan, dijadikan simbol perjuangan emansipasi
wanita karena berhasil keluar dari jeratan tradisi yang tidak
memberikan ruang bagi perempuan untuk maju pada saat itu. Momentum "kebebasan" Kartini ini seolah mendapat angin untuk berlayar bersamaan dengan gerakan
feminisme yang berkembang di dunia Barat. Terjadilah sebuah simbiosis
antara keduanya untuk kemudian mengusung genderisasi di semua bidang
kehidupan.
Padahal apa yang diperjuangkan RA Kartini pada dasarnya adalah meningkatkan harkat dan martabat wanita serta menuntut hak-hak wanita
yang memang menjadi haknya. Bukan emansipasi sebagaimana yang
berkembang di Barat dan mulai merambat ke Indonesia sekarang ini. Bukan! Perjuangan Kartini rupanya telah ditafsirkan melampaui batas oleh kaum
perempuan saat ini. Kiprahnya disalahartikan. Atau
memang sengaja dijadikan umpan oleh oknum-oknum tertentu?
Renungkan kembali ruh perjuangan Kartini. Benarkah RA Kartini yang telah mengajarkan emansipasi? Sepenggal petikan
suratnya, "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan
anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak
perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi
karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita,
agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang
diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik
manusia yang pertama-tama." (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya,
4 Oktober 1902).
Got it? Kartini berjuang agar perempuan tidak
didiskriminasi dalam menuntut ilmu, khususnya terkait keterampilan
keperempuanan. Kartini meyakini, jika seorang ibu memiliki bekal ilmu
yang cukup, akan mampu melahirkan generasi yang berkualitas. Itu yang ia perjuangkan. Bukan persamaan hak antara laki-laki dan wanita di segala bidang.
Bukankah Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan wanita dengan
posisinya masing-masing secara pas, tidak mengeksploitasi satu sama
lain? Allah telah memberikan hak-hak kepada wanita sebagaimana yang
diberikan kepada laki-laki, kecuali ada hal-hal khusus yang diberikan
Allah terkait dengan tabiat dan martabat wanita, seperti kemampuan
hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak diberikan-Nya kepada
laki-laki.
Mengutip dari tulisan Mbak Siti Nuryati dan Mbak Asri Supatmiati, jika kita coba telusuri, dahulu kala
nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang. Kaum laki-laki di
berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah.
Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak
ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya.
Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak
perempuannya. Di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu
laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan adalah
kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-hidup. Di Mesir
dan Persia, perlakuan terhadap perempuan tak kalah sadisnya.
Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan,
kerendahan dan berbagai predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada
tahun 611 Masehi, barulah pembebasan kaum wanita dari segala
penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang perempuan,
melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah
SWT, Muhammad berusaha mengangkat posisi wanita pada tingkat kemuliaan
yang tiada tara . “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, sabda
Rasulullah SAW ini mengindikasikan bahwa posisi ibu (yang berarti
seorang perempuan) adalah salah satu penentu dalam meraih surga.
Peradaban pun terus berkembang dengan dilandasi nilai-nilai luhur.
Pada masa itu, wanita diposisikan pada derajat yang tinggi. Hingga
akhirnya pada awal abad ke-13, kemuliaan itu pelan-pelan memudar,
seiring dengan peradaban, sains dan teknologi yang ditawarkan oleh
Gerakan Revolusi Industri. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang
dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s
Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).
Hendaknya mereka meredefinisikan kesetaraan dan keadilan gender yang
dikehendaki. Jangan matikan nurani perempuan sebagai sosok yang lemah-lembut dan penuh kasih menjadi sosok yang kekar dan keras. Kita tidak ingin mendengar
lagi perempuan-perempuan (cantik) menjadi ikon para kriminalis. Bukankah itu eksploitasi namanya? Bukankah itu justru seperti "budak"? Baiklah, bahasa halusnya "boneka". :)
Denpasar, 21 April 2014
Hanifah Alshofa Nurul Aini
Monday, 21 April 2014
Tuesday, 14 January 2014
Skenario Allah Selalu Yang Terbaik
Teringat
dua hari yang lalu. Dengan kedua tangan menggenggam erat tali ransel yang
menempel di punggung bak sayap, saya telah yakin untuk terbang hari itu.
Kendati ketika saya memutuskan untuk kem(Bali) lebih cepat, banyak teman yang berkomentar, "cepet banget." atau, "libur masih panjang."
Sambil mengencangkan sabuk pengaman, saya bergumam, "apakah aku memang terlalu cepat?"
Kemudian datang seorang teman (Neng Immah, 20 tahun) yang kebetulan tanpa direncakan satu pesawat dengan saya. Alhamdulillah, jadi ada teman bicara selama perjalanan. Dia duduk di sebelah saya karena memang kami check in online bersama sebelumnya.
Lantas ia berkata, "Untung delay. Kalo nggak udah ketinggalan nih."
Masya Allah. Manusia, dalam keadaan apapun masih bilang "untung" bahkan dalam keadaan rugi. Artinya insya Allah mereka masih pandai bersyukur.
Hal yang sama ketika rumah saya digondol maling, orang tua saya malah berkata, "Untung si maling datang saat kami tertidur pulas. Kalau tidak, mungkin kami sudah dilukai karena tidak tinggal diam."
Dari sana saya dapat berpikir seperti ini:
Mari berhusnudzon kepada Allah. Alhamdulillah...
*tulisan singkat ini disponsori oleh gambaran dan coretan (yg katanya alay) milik mbak Cilla. Terimakasih inspirasinya.*
Denpasar, 14 Januari 2014
Hanifah Alshofa Nurul Aini
Kendati ketika saya memutuskan untuk kem(Bali) lebih cepat, banyak teman yang berkomentar, "cepet banget." atau, "libur masih panjang."
Sambil mengencangkan sabuk pengaman, saya bergumam, "apakah aku memang terlalu cepat?"
Kemudian datang seorang teman (Neng Immah, 20 tahun) yang kebetulan tanpa direncakan satu pesawat dengan saya. Alhamdulillah, jadi ada teman bicara selama perjalanan. Dia duduk di sebelah saya karena memang kami check in online bersama sebelumnya.
Lantas ia berkata, "Untung delay. Kalo nggak udah ketinggalan nih."
Masya Allah. Manusia, dalam keadaan apapun masih bilang "untung" bahkan dalam keadaan rugi. Artinya insya Allah mereka masih pandai bersyukur.
Hal yang sama ketika rumah saya digondol maling, orang tua saya malah berkata, "Untung si maling datang saat kami tertidur pulas. Kalau tidak, mungkin kami sudah dilukai karena tidak tinggal diam."
Dari sana saya dapat berpikir seperti ini:
Tidak ada yang terlalu cepat. Tidak ada yang terlambat. Tidak ada yang kebetulan. Semua punya waktu masing-masing. Semua telah Allah atur untuk ciptaan-Nya. Entah untuk apa, mungkin kita belum tahu, tapi itu yang terbaik untuk kita.
Mari berhusnudzon kepada Allah. Alhamdulillah...
*tulisan singkat ini disponsori oleh gambaran dan coretan (yg katanya alay) milik mbak Cilla. Terimakasih inspirasinya.*
Denpasar, 14 Januari 2014
Hanifah Alshofa Nurul Aini
Subscribe to:
Posts (Atom)