Penyair
dan sastrawan Indonesia ini lahir di Bukittinggi, 25 Juni 1953. Meski demikian,
masa kecilnya banyak ia lalui di Pekalongan. Ia mulai bersekolah SD di sekolah
rakyat di kota Solo. Kemudian ia berpindah ke Salatiga, Semarang. Akhirnya, ia
menamatkan sekolah rakyatnya di Yogya. Setelah itu ia kembali ke kampung
halamannya di Bukittinggi dan melanjutkan SMP disana, SMA di Bogor, dan kembali
ke Pekalongan, tempat ia menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya. Pada tahun
1956-1957 ia memenangkan beasiswa Whitefish Bay High School di Milwaukee,
Wisconsin, AS. Ia adalah angkatan pertama dari Indonesia.
Ia
kemudian melanjutkan pendidikan tingginya
di Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan, Universitas Indonesia yang sekarang
menjadi IPB. Ia tamat dengan gelar drh pada tahun1963. Kemudian pada tahun
1971–1972 dan 1991–1992 ia mengikuti International Writing Program, University
of Iowa, Iowa City, Amerika Serikat. Selain itu, ia juga belajar pada Faculty
of Languange and Literature, American University in Cairo, Mesir, pada tahun
1993. Namun dikarenakan terjadi pecah Perang Teluk, ia pulang ke Indonesia.
Padahal studi bahasanya belum ia tamatkan.
Semasa
kuliah, Taufiq Ismail terbilang mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan.
Perlu diketahui, ia pernah menjadi Ketua Senat Mahasiswa FKHP UI (1960–1961)
dan Wakil Ketua Dewan Mahasiswa (1960–1962). Ia juga pernah mengajar sebagai
guru bahasa di SMA Regina Pacis, Bogor (1963-1965), guru Ilmu Pengantar
Peternakan di Pesantren Darul Fallah, Ciampea (1962), dan asisten dosen
Manajemen Peternakan Fakultas Peternakan, Universitas Indonesia Bogor dan IPB
(1961-1964). Dikarenakan ia menandatangani Manifes Kebudayaan, yang dinyatakan
terlarang oleh Presiden Soekarno, ia batal dikirim untuk studi lanjutan ke
Universitas Kentucky dan Florida. Mirisnya ia kemudian dipecat sebagai pegawai
negeri pada tahun 1964.
Taufiq
Ismail ini menjadi kolumnis Harian KAMI pada tahun 1966-1970. Kemudian, ia
bersama Mochtar Lubis, P.K. Oyong, Zaini, dan Arief Budiman mendirikan Yayasan
Indonesia, yang kemudian juga melahirkan majalah sastra Horison (1966). Sampai
sekarang ini ia memimpin majalah itu.
Pada
tahun 1993 Taufiq diundang menjadi pengarang tamu di Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kuala Lumpur, Malaysia. Sebagai penyair, Taufiq telah membacakan puisinya di
berbagai tempat tentunya, bukan hanya di dalam negeri, namun juga di luar
negeri. Dalam setiap peristiwa yang bersejarah di Indonesia Taufiq selalu
tampil dengan membacakan puisi-puisinya, seperti jatuhnya Rezim Soeharto,
peristiwa Trisakti, dan peristiwa Pengeboman Bali. Ia pernah mewakili Indonesia
baca puisi dan festival sastra di 24 kota di Asia, Amerika, Australia, Eropa,
dan Afrika sejak 1970. Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa,
Sunda, Bali, Inggris, Prancis, Jerman, Rusia, dan Cina.
Kini
Ia menjadi anggota Badan Pertimbangan Bahasa, Pusat Bahasa dan konsultan Balai
Pustaka, di samping aktif sebagai redaktur senior majalah Horison.
Denpasar, 30 Juli 2012
Hanifah Alshofa Nurul Aini
Denpasar, 30 Juli 2012
Hanifah Alshofa Nurul Aini
No comments:
Post a Comment