Monday 21 April 2014

Tentang April, Kartini, dan Emansipasi

April. Namanya diambil dari bahasa Latin "aperire" yang berarti membuka. Kalau di Indonesia membuka semangat baru para wanita barangkali? Pasalnya bulan ke-4 dalam kalender Masehi ini identik dengan satu kata bernama emansipasi. Setiap 21 April selalu diperingati sebagai Hari Kartini. Kartini dianggap sebagai pahlawan, dijadikan simbol perjuangan emansipasi wanita karena berhasil keluar dari jeratan tradisi yang tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk maju pada saat itu. Momentum "kebebasan" Kartini ini seolah mendapat angin untuk berlayar bersamaan dengan gerakan feminisme yang berkembang di dunia Barat. Terjadilah sebuah simbiosis antara keduanya untuk kemudian mengusung genderisasi di semua bidang kehidupan.

Padahal apa yang diperjuangkan RA Kartini pada dasarnya adalah meningkatkan harkat dan martabat wanita serta menuntut hak-hak wanita yang memang menjadi haknya. Bukan emansipasi sebagaimana yang berkembang di Barat dan mulai merambat ke Indonesia sekarang ini. Bukan! Perjuangan Kartini rupanya telah ditafsirkan melampaui batas oleh kaum perempuan saat ini. Kiprahnya disalahartikan. Atau memang sengaja dijadikan umpan oleh oknum-oknum tertentu?  


Renungkan kembali ruh perjuangan Kartini. Benarkah RA Kartini yang telah mengajarkan emansipasi? Sepenggal petikan suratnya, "Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama." (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902).

Got it? Kartini berjuang agar perempuan tidak didiskriminasi dalam menuntut ilmu, khususnya terkait keterampilan keperempuanan. Kartini meyakini, jika seorang ibu memiliki bekal ilmu yang cukup, akan mampu melahirkan generasi yang berkualitas. Itu yang ia perjuangkan. Bukan persamaan hak antara laki-laki dan wanita di segala bidang.

Bukankah Allah SWT telah menciptakan laki-laki dan wanita dengan posisinya masing-masing secara pas, tidak mengeksploitasi satu sama lain? Allah telah memberikan hak-hak kepada wanita sebagaimana yang diberikan kepada laki-laki, kecuali ada hal-hal khusus yang diberikan Allah terkait dengan tabiat dan martabat wanita, seperti kemampuan hamil, melahirkan dan menyusui yang tidak diberikan-Nya kepada laki-laki.

Mengutip dari tulisan Mbak Siti Nuryati dan Mbak Asri Supatmiati, jika kita coba telusuri, dahulu kala nasib makhluk bernama wanita ini sungguh malang. Kaum laki-laki di berbagai belahan bumi meletakkan posisi wanita pada derajat yang rendah. Mereka dipaksa hidup di bawah keganasan laki-laki, sampai-sampai tidak ada batas bagi seorang suami dalam memperlakukan istrinya.

Pada sebagian bangsa Yahudi, seorang bapak diperbolehkan menjual anak perempuannya. Di Eropa, perempuan dipaksa menikah dengan lebih satu laki-laki (poliandri). Di Jazirah Arab, lahirnya bayi perempuan adalah kehinaan bagi keluarganya sehingga layak dikubur hidup-hidup. Di Mesir dan Persia, perlakuan terhadap perempuan tak kalah sadisnya.
 
Demikianlah, berabad-abad penderitaan yang panjang, kehinaan, kerendahan dan berbagai predikat buruk tersandang di pundak wanita. Pada tahun 611 Masehi, barulah pembebasan kaum wanita dari segala penderitaan dan kehinaan dimulai. Pelopornya bukanlah seorang perempuan, melainkan seorang laki-laki bernama Muhammad. Berbekal petunjuk Allah SWT, Muhammad berusaha mengangkat posisi wanita pada tingkat kemuliaan yang tiada tara . “Surga itu terletak di bawah telapak kaki ibu”, sabda Rasulullah SAW ini mengindikasikan bahwa posisi ibu (yang berarti seorang perempuan) adalah salah satu penentu dalam meraih surga. Peradaban pun terus berkembang dengan dilandasi nilai-nilai luhur.
 
Pada masa itu, wanita diposisikan pada derajat yang tinggi. Hingga akhirnya pada awal abad ke-13, kemuliaan itu pelan-pelan memudar, seiring dengan peradaban, sains dan teknologi yang ditawarkan oleh Gerakan Revolusi Industri. Pada abad ke-19, muncul benih-benih yang dikenal dengan feminisme yang kemudian terhimpun dalam wadah Women’s Liberation (Gerakan Pembebasan Wanita).

Hendaknya mereka meredefinisikan kesetaraan dan keadilan gender yang dikehendaki. Jangan matikan nurani perempuan sebagai sosok yang lemah-lembut dan penuh kasih menjadi sosok yang kekar dan keras. Kita tidak ingin mendengar lagi perempuan-perempuan (cantik) menjadi ikon para kriminalis. Bukankah itu eksploitasi namanya? Bukankah itu justru seperti "budak"? Baiklah, bahasa halusnya "boneka". :)


Denpasar, 21 April 2014
Hanifah Alshofa Nurul Aini