Wednesday 28 December 2011

BINGKISAN SENJA



Allahuakbar . . . Allahuakbar . . .
Suara adzan yang baru saja aku dengar begitu menyentuh jiwaku. Aku beranjak dari kursi meja belajarku berniat untuk mengambil air wudhu. Setelah itu aku segera menunaikan kewajiban shalat lima waktuku.
Sore yang indah, berselimut langit yang menunjukkan warna kemerahan  semakin membuatku merasa takjub atas segala ciptaan-Nya. Atas semua yang telah Ia berikan kepada seluruh umat-Nya yang tentu saja selalu mengagungkan-Nya. Yang selalu bertasbih menyebut nama-Nya. Yang tak pernah lupa berlindung pada-Nya. Begitu juga yang aku rasakan saat itu. Betapa besar ciptaan-Nya yang tak dapat digambarkan dengan tinta emas sekalipun. Panorama sore hari yang tak ada satupun yang bisa melukiskannya secara sempurna, jika dibanding dengan apa yang telah Ia lukiskan sekarang.
Aku bersiap untuk membaca buku pelajaran yang sudah menantiku di atas meja. Besok ada ulangan matematika. Tak lupa aku ucapkan kata pertama yang tak akan aku lewatkan. “Bismillahirrahmanirrahim”. Hanya kata itu yang membuatku siap mengerjakan semua yang akan aku lakukan.
Kata demi kata yang kubaca hanya membuat mataku lelah dan mengantuk. Timbul rasa untuk tidur sejenak tapi ahh besok ulangan. Aku harus semangat menimba ilmu yang tidak pernah ada habisnya. Terlebih lagi kata orang tua dulu kalau tidur sore hari itu pamali. Namun, semakin aku semangat nyatanya semakin daya mataku melemah hingga hanya 5 watt saja. Tanpa sadar aku pun jatuh tertidur.
Udara yang sejuk, kicauan burung terdengar riang. Sinar ultraviolet menari-nari menembus kaca dan menjilati kulitku yang tertidur pulas. “Ghodzi!” sebuah suara lembut mengguncang telingaku.
“Ayo bangun! Sudah jam setengah tujuh pagi.” suara itu semakin dekat. Aku mulai membuka mata dan terkaget melihat pagi telah datang. Padahal rasanya baru saja tadi aku tak sengaja menutup mata. Aku berlari menuju kamar mandi dan bersiap pergi ke sekolah.
Aku sudah berusaha secepat mungkin menyiapkan segalanya bahkan aku melewatkan sholat shubuh. Tapi secepat apa pun aku melakukannya tetap saja aku kesiangan sampai di sekolah berlabel RSBI itu. Ku dapati pintu gerbang sekolah yang sudah ditutup. Aku harus memohon-mohon satpam untuk membukakan pintu gerbang hingga ku belikan ia sebungkus rokok baru dibukalah si pintu. Belum lagi aku harus menyelinap diam-diam di barisan upacara nanti. Apa lagi kesialan selanjutnya? Astaghfirullah… mengapa seperti ini?
Aku melangkah perlahan pasti tanpa suara berharap tak seorang guru pun melihatku kesiangan. Tapi sialnya aku. Di depan kelasku ada bapak wakil kepala sekolah yang berdiri melihat jalannya upacara. Kemudian dia memanggilku.
“Hey, boy! Come here!”
Yes, Sir!” dengan tertunduk aku menghampirinya.
            “You know what? You came late about 30 minutes.” Ujarnya sambil menunjukan jam tangan miliknya.
            “I’m very sorry, Sir.”
            “Where is your home?”
            “I live on jln. Kartini.”
“It’s not far. Stand in front of your friends! Now!” bentaknya tegas. Urat-urat di kepalanya mulai muncul dan matanya melotot seperti yang tidak betah di tempatnya.
Aku melangkah menuju lapangan upacara. Walaupun hati ini malu, tapi aku sadar ini semua memang kesalahanku. Aku percaya tiada yang sia-sia. Semua akan ada hikmahnya. Aku berjanji Ya Rabbi tidak akan jatuh pada lubang yang sama seperti seekor kerdil yang bodoh. Semua mata tertuju padaku. Semua mulut memperbincangkanku. Sungguh aku malu tapi apa daya aku tak mampu membela. Selama upacara berlangsung aku berdiri di depan sebelah Pembina upacara, bukan sebagai ajudan pancasila, bukan pula sebagai pengatur sound system, tapi untuk dipertontonkan dan ditertawakan banyak orang agar aku sadar kesalahanku.
            Upacara bendera yang menjadi kegiatan rutin sekolah favorit di Kabupaten Sumedang ini akhirnya selesai juga. Semua siswa berhamburan masuk kedalam kelas masing-masing dengan teratur. Betapa bangganya aku bisa masuk sekolah yang berstandar Internasional ini, karena tidak sembarang siswa bisa masuk sekolah ini. ”Hanya siswa yang berkualitaslah yang bisa masuk kesini” begitu yang disampaikan oleh salah satu guru dalam upacara minggu sebelumnya. Tapi apa yang aku lakukan hari ini adalah sangat memalukan. Sama sekali tidak mencerminkan siswa yang berkualitas.
Aku dan anak-anak yang lain duduk dikursi masing-masing. Pelajaran pertama saat itu adalah matematika, pelajaran yang selalu dianggap membuat pusing oleh siswanya terkecuali aku. Sementara yang lain membaca buku untuk ulangan hari ini, aku malah berleha-leha, tenang-tenang. Hingga guru matematika datang aku masih merasa tak gentar.
“Keluarkan kertas! Tidak ada buku apa pun di atas meja kecuali kertas dan alat tulis kalian!” ujar bapak yang menurut anak-anak super killer ini.
“Dilarang meminjam alat apa pun ke teman Anda. Semuanya bekerja masing-masing.” tegasnya lagi sambil membagikan lembar soal.
Aku tatap lembar soal itu dalam. Sudah ku coba kerjakan tapi mengapa terasa begitu sulit? Arrggghhh… aku lupa kemarin sore aku tertidur hingga tidak belajar. Aku gugup. Keringat bercucuran di kepalaku. Aku hanya bisa menjawab sebagian kecil soalnya saja. Sisanya? Entah aku harus berbuat apa. Oh mengapa aku begitu sombongnya Ya Rabb sehingga aku tidak mau sedikit pun membaca buku sebelum ulangan? Astaghfirullah.
“Jeng, Ajeng! Nomor 8.” bisikku pada Ajeng teman sebangkuku.
Tapi lagi-lagi aku sedang sial. Pak guru melihatku. Akhirnya aku tidak diperbolehkan mengikuti ulangan dan dikeluarkan dari kelas. Aku disuruh hormat di depan tiang bendera selama jam pelajaran matematika. Malu bukan main.
Sang raja siang membakar kulitku yang semakin gosong. Aku yang berkulit cokelat, semakin gelap saja jika dijemur seperti ini.  Kemejaku basah karena mandi keringat. Dan satu hal yang aku tak ingin tahu. Di belakangku pasti anak-anak mencibir semua yang telah terjadi. Ha? Mereka hanya bisa mengoreksi orang tanpa memikirkan dirinya sendiri. Ya Allah jangan biarkan kemarahan menjamur di dalam hatiku. Toh ini semua memang kesalahanku. Biarkanlah mereka tertawa semau mereka.
“Ghodzi, kamu dipanggil Pak Guru ke ruang guru.” sahut ajeng yang baru selesai ulangan.
 Dengan lunglai aku beranjak dari lapangan menuju ruang guru. Aku sangat lemas, lelah, letih, lesu. Aku butuh istirahat. Di ruang guru ternyata tak ku dapati si bapak yang anak-anak sebut killer itu. Sudahlah aku duduk di depan mejanya saja. Aku tahu dia pasti akan menghujaniku dengan kemarahannya dan nasehat-nasehatnya. Setelah itu? Aku yakin benar akan diberi amplop. Bukan amplop yang berisi pundi-pundi uang melainkan berisi soal ulangan yang jauh lebih susah dari ulangan tadi. Siap-siap saja aku habis dengan perkataannya. By the way, kesialan apa lagi yang akan mengahampiriku nanti, ha?
“Hoaaammm…” aku menguap. Saking capeknya berdiri selama 2 jam pelajaran matematika, aku pun tertidur di meja ruang guru itu.
Pukkk… Tiba-tiba sesuatu mengguncang kepalaku. Disusul dengan suara lembut yang menggetarkan telingaku “Godzi! Bangun! Ayo bangun! Muhammad Godzi Anshori!”.
“Iya maaf pak. Maaf saya tadi tertidur karena capek. Maaf sekali pak. Maaf!” dengan refleks aku meminta maaf kepada orang di depanku yang ternyata adalah “Ibu?? Mengapa ibu ada disini?”
“Ibu membangunkanmu, Nak. Ini sudah maghrib. Tadi kamu tertidur ya saat sedang belajar? Ya sudah ibu bangunkan. Ibu tahu kamu besok ulangan matematika bukan? Hayo cepat ambil wudhu lalu sholat dan belajar lagi.” ujar ibuku.
“Hehe… iya bu.” bukan karena gatal aku menggaruk-garuk kepalaku dengan malunya aku kepada ibu. Syukurlah itu tadi hanya sebuah mimpi. Untung hanya malu dengan ibu. Coba di mimpi tadi? Aku malu oleh semua warga SMA seantero sekolah. Hufftt…
Ngomong-ngomong, mengapa tadi kamu meminta maaf kepada ibu, Nak? Memanggil ibu dengan sebutan bapak pula.” tanya ibu penasaran.
“Tidak ada apa-apa bu. Hehe. Sudahlah tidak usah dibahas. Aku kan malu, bu.” jawabku lagi-lagi dengan menggaruk kepala.
“Kamu ini ada-ada saja. Sudah cepat sana ke kamar mandi!”
“Iya ibuku yang cantik.” aku mencium keningnya lalu beranjak dari kamarku.
“Dasar anak itu. Aneh-aneh saja tingkahnya.” gumam ibu.
Hidup ini memang indah. Banyak hal yang membuat kita tersenyum, terpingkal dan tertawa.Terlalu indah untuk disia-siakan begitu saja. Apalagi hanya untuk melakukan hal yang sama sekali tak ada gunanya. Aku merasa bahwa hidup ini adalah sebuah arena yang didalamnya terdapat berbagai macam tantangan. Mulai dari yang biasa sampai yang luar biasa. Dimana aku dituntut untuk memenangkan setiap tantangan itu dan meraih sebuah kemenangan yang hakiki. Kemenangan yang akan membawaku ke sebuah tempat yang mempunyai seribu macam keindahan yang sesungguhnya.
Hidup ini memang terkadang kita anggap menyusahkan, tapi justru didalam kesusahan itulah kita dituntut untuk meniadakan kesusahan dan meraih sebuah akhir dari segala kesusahan itu berupa balasan yang sangat luar biasa indahnya di dalam Firdaus sana. Surga Firdaus, jika dalam pikiran kita yang hanya seorang hamba adalah hotel berbintang lima dimana orang-orang tertentu sajalah yang bisa masuk kesana. Hanya orang yang punya semua kebaikan materi yang berlimpah yang tak akan pernah habis tujuh turunan. Atau ibarat sebuah apartemen berkelas yang di dalamnya semua fasilitas canggih sudah tersedia langsung siap pakai. Dan lagi-lagi, hanya orang yang bermateri lebih yang bisa menempati hunian itu. Tapi untuk masuk kedalamnya materi tidaklah terlalu penting, yang penting adalah iman, islam dan ihsan kita.
Bukankah orang sekarang hanya meninggikan rasa gengsi? Gengsi jika saudara atau sahabat mempunyai sesuatu yang kita tidak punya, dan kita berusaha mendapatkan hal yang lebih dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Itulah orang-orang yang tidak akan pernah mencium bahkan masuk kedalam surga terindah, kecuali mereka mau mengakui kesalahan yang selama ini mereka lakukan sebelum semuanya terlambat.
 Mimpi tidurku tadi sore benar-benar berarti. Haha. Walaupun aneh tapi seru juga. Sekarang aku semangat untuk belajar agar tidak seperti di mimpiku tadi. Dan 1 hal yang perlu di ingat. Jangan pernah meninggalkan sholat sesibuk apa pun diriku. Ohhh indahnya senja ini. Begitu banyak pundit-pundi hikmah. Akan ku jadikan mimpi itu bingkisan senja. Terimakasih, Ya Rabbi.

Sumedang, 28 Desember 2011
Hanifah Alshofa Nurul Aini